Jumat, 20 Februari 2015

Mengerjakan Ritual Sholat ≠ Mendirikan Sholat *

Sholat dalam bentuk ritual atau sembahyang adalah sebuah pekerjaan lambang atau simbol. Mengerjakan pekerjaan yang bersifat simbolik sesungguhnya tidak memberikan arti yang nyata pada kehidupan di bumi. Namun bila lambang atau simbol dari sholat ini diaktualisasikan atau didirikan, maka barulah sholat itu bermakna besar. Seperti apakah bentuk aktualisasi dari mendirikan sholat itu?
Kata sholat berkaitan dengan kata ‘shollu’ dalam Qs 33/56:
“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya ber ’shollawat’ untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, ber ’shollawat' lah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.”
Di ayat ini kata ‘shollu’ diartikan sebagai ‘shollawat’ atau doa keselamatan untuk Nabi. Bagi mereka yang berpikir, terjemahan di atas tidak masuk logika karena tidak mungkin Tu(h)an berdoa untuk keselamatan Nabi-Nya sendiri, Tu(h)an memohon kepada siapa?
Pada saat kata ‘shollu’ diterjemahkan sebagai ritual sholat (sembahyang), tetap tidak akan dapat diterima oleh akal yang sehat. Apakah masuk di akal bila Allah, para malaikat dan orang-orang beriman harus menyembah kepada Nabi?
Kata ‘shollu’ dalam bahasa Arab artinya menyatu atau berintegrasi. Maksudnya, ‘shollu’ atau ‘sholat’ itu sendiri bermakna bergabung untuk mendukung perjuangan Nabi dalam bentuk perbuatan yang nyata (aktualisasi).
Mendirikan sholat harus diawali dengan takbir (Allahu Akbar): Takbir adalah membesarkan nama TuHan. Bagaimana membesarkan Nama-Nya? Apakah harus berteriak-teriak menyebut nama TuHan dengan suara yang keras atau besar? Jelas bukan itu maksudnya. Membesarkan ‘nama Tuhan’ yaitu dengan membesarkan kekuasaan atau kedaulatan-Nya di dalam kehidupan manusia secara nyata. Tu(h)an harus menjadi yang maha agung, Tu(h)an harus menjadi tuan raja bagi manusia di bumi (malikinnaas).
Dalam sholat diwajibkan membaca surat Fatihah: Apakah ‘membaca’ yang dimaksud adalah melafalkan surat pembuka ini dalam bahasa Arab tanpa dimengerti maknanya? Tentu saja bukan itu. Kata ‘membaca’ bermakna sangat dalam, karena pekerjaan membaca yang sesungguhnya harus melibatkan proses pemahaman dari tulisan yang dibacanya. Bila hanya diucap di mulut saja tanpa mengerti maknanya, tidak ubahnya seperti ucapan dari orang yang sedang mabuk, karena orang mabuk itu tidak sadar dengan kata kata yang keluar dari mulutnya.
Surat Fatihah berisi tujuh intisari atau pokok-pokok permasalahan yang harus dimengerti maknanya. Mereka yang bergabung dalam perjuangan Nabi diwajibkan untuk mengerti makna surat Al-Fatihah yang sangat dalam ini. Mereka yang tidak paham akan tujuh pokok-pokok dasar ini dilarang keras untuk mendekati perjuangan Nabi. Apabila mendekati saja dilarang, apalagi mendukung perjuangan Nabi. Inilah yang dimaksud dengan orang mabuk dilarang mendekati sholat [QS 4/43].
Rukuk dan sujud menjadi bagian dari sholat: Rukuk ( Hormat ) adalah pekerjaan membungkuk dan sujud ( tunduk ) adalah posisi menunduk mencium bumi. Kedua amstal ini yang merupakan simbolik dari perbuatan ‘tunduk dan patuh’. Islam berasal dari kata ‘aslama’ atau tunduk patuh. Tunduk patuh kepada apa? Tunduk patuh kepada semua aturan (hukum-hukum/Dien) Tu(h)an semesta alam. Mereka yang mendukung perjuangan Nabi syaratnya harus bersedia untuk untuk tunduk dan patuh kepada semua aturan-Nya.
Sholat bukan lah perbuatan yang ditujukan agar seseorang itu menjadi beriman, tetapi perintah sholat itu khusus ditujukan kepada orang-orang yang sudah beriman. Mendirikan sholat adalah perbuatan mendukung perjuangan Nabi. Tu(h)an, para malaikat dan orang-orang beriman semua mendukung dan membantu Nabi dalam visi dan misi yang dijalankannya.
Sesungguhnya hanya dengan berintegrasi kepada Nabi lah yang mampu mencegah perbuatan keji dan munkar. Inilah yang dimaksud Tu(h)an dengan ‘mendirikan sholat’ yang tertulis di dalam Qur’an. Sangat berbeda dengan ritual sholat yang dihadistkan/diriwayatkan oleh manusia.
Bahasa wahyu adalah bahasa Tu(h)an yang selalu menggunakan amstal.

Tidak ada komentar: